9 PERTANYAAN MENGGUGURKAN AQIDAH TAJSIM SEKTE WAHABI


By imam nawawi

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk membantah aqidah sesat wahhaby, yang mana mereka hanya mengambil makna dhahir dari ayat dan hadits mutasyabihat sehingga mereka mensifatkan Allah dgn sifat makhluq.

1. Apakah Tuhan wahaby SAKIT dan LUPA?

apakah kalian masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist mutasyabihat ini ?

– “Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67) ,

Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67) ,

– “Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14) .

Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :

” Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam:
Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul “Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)

Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14) .

2. Dalam hadits shahih muhakamat disebutkan bahwa Allah ada tanpa arah ( atas atupun bawah), kenapa kalian mengingkarinya?

Allah ada tanpa arah adalah aqidah shahih yang didukung oleh banyak ayat dan hadist muhkamat.

Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash- Shifat, hlm. 506 , mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu “alayhi wa sallam:

“Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).

Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat

3. Manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘ Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud?

Wahhaby punya keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di ‘Arsy. Coba kalian pikirkan, manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Sudah tentu berdiri lebih dekat ke ‘Arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy,

maka dimanakah hadits yang mengatakan, “Paling dekatnya kedudukan seorang hamba dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud”.

4. Dimanakah Allah sebelum diciptakannya semua makhluq (Tempat, arah, arsy dsb) ?
setelah Allah ciptakan semua makhluq ( langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah? Apakah sifat dzat Allah berubah? Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali)…..

semua makhluq tidak ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya, atas,bawah….semua mahkluq tdk ada,karena Allah belum
menciptakannya…..) pada saat itu dimana Allah?

dan setelah Allah menciptakan semua makhluq ( langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah?

Ingat : Sifat Allah tetap tdk berubah. sifat Allah tdk sama dgn makhluq. Maka orang yang mengatakan tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah.

Sifat Salbiyah :Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah. Ada 5 sifat yaitu :

– Wahdaniyah/esa ( Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah – yg maknanya ada tuhan yg dilangit, ada tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb )

– Qidam/ada sebelum semua makhluq ada ( Allah Ada sebelum tempat dan arah ada, sebelum ada ‘Arsy dan langit beserta segala isinya )

– Baqo /kekal ( Allah kekal sedangkan langit, ‘ Arsy, surga, neraka, malaikat, manusia, iblis akan di gulung/hancurkan saat Kiamat

– Mukhalafatu lil hawaditsi/berbeda dgn makhluq ( Allah beda dgn makhkuq, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/ makhluq )

– Qiyamuhu binafsihi tidak memerlukan apapun ( Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb )

5. Kenapa kalian solat masih menghadap ke kiblat, katanya Allah di atas?

ingat Langit Hanyalah kiblat Do”a….bukan tempat bersemayam Allah….ingat : Allah ada tanpa tempat dan arah.

6. Manakah arah ATAS yang kalian maksud? Tunjukkan?

Bumi ini Bulat dan tidak ada arah atas bagi benda yang bulat,

Arah atasnya orang di Indonesia adalah arah bawahnya Orang yang ada di Negara Amerika, dan sebaliknya.

7. Apakah Tuhan-Mu bergelantungan di langit pertama setiap saat?

Kalian katakan pada sepertiga malam Allah dilangit pertama bukan diatas arsy, padahal waktu bergulir setiap saat. Jika di Indonesia tengah Malam maka di Amerika adalah siang hari.

8. Makna zahir mana yg mereka katakan ” menerima secara zahir” ??

wahabi mengatakan :
“Allah punya Tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk”

Mereka katakan mereka menerima secara zahir,lalu mereka katakan lagi bahwa yg zahir itu beda dengan zahirnya makhluk….

kami bertanya :

lalu makna zahir mana yg mereka katakan ” menerima secara zahir” ??

Inilah akidah akal akalan mereka tak ada satu orangpun salaf al shalih yg berakal seperti ini..

9. Dimanakah Tuhan kalian:

apakah di langit pertama (lihat hadis nuzul), di langit ( surat al mulk), diatas arsy (lihat surat ar” ad), menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat surat albaqarah), dimana- mana/disemua arah, tanpa tempat (hadis zaman azali)?

Jika menggunakan makna dhahir ayat dan hadist maka tidak akan bisa menjawabnya dan terjerumus dalam tasybih (penyerupaan kepada makhluq).

Ta”wil disni berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah,
ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta”wil ayat dan hadis mutasyabihat:

Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah.

(Sebagian ulama’ salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)

.

7 responses to “9 PERTANYAAN MENGGUGURKAN AQIDAH TAJSIM SEKTE WAHABI

  1. Menetapkan sifat dua mata, dua
    tangan , wajah, kaki, jari- jari, dan yang
    lainnya dari sifat dzatiyyah Allah
    sebagaimana dhahir maknanya bukan
    merupakan tasybih ( penyerupaan Allah
    kepada makhluk -Nya). Apalagi sampai
    menuduh
    sebagaimujassimah atau musyabbihah !
    Al-Imam Ishaq bin
    Rahawaih rahimahullah berkata :
    ﺎﻤﻧﺇ ﻥﻮﻜﻳ ﺍﺫﺇ ﻪﻴﺒﺸﺘﻟﺍ ﻝﺎﻗ : ﺪﻳ
    ﻞﺜﻣ ﻱﺪﻳ ﻊﻤﺳ ﻭﺃ ﻲﻌﻤﺴﻛ ، ﺍﺬﻬﻓ
    ﻪﻴﺒﺸﺗ. ﺎﻣﺃﻭ ﻝﺎﻗ ﺍﺫﺇ ﻝﺎﻗ ﺎﻤﻛ ﻪﻠﻟﺍ :
    ﺪﻳ ﻊﻤﺳﻭ ﺮﺼﺑﻭ ، ﻼﻓ ﻝﻮﻘﻳ : ﻒﻴﻛ ،
    ﻝﻮﻘﻳﻻﻭ : ﻞﺜﻣ، ﺍﺬﻬﻓ ﻻ ﻥﻮﻜﻳ
    ًﺎﻬﻴﺒﺸﺗ ، ﻝﺎﻗ ﻰﻟﺎﻌﺗ : )َﺲْﻴَﻟ ِﻪِﻠْﺜِﻤَﻛ
    ٌﺀْﻲَﺷ ُﻊْﻴِﻤَّﺴﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ ُﺮْﻴِﺼَﺒْﻟﺍ
    ”Tasybih itu hanya terjadi ketika
    seseorang itu mengatakan : ”Tangan
    (Allah ) seperti tanganku, pendengaran
    (Allah ) seperti pendengaranku” . Inilah
    yang dinamakan tasybih (penyerupaan )
    . Adapun jika seseorang mengatakan
    seperti firman Allah : ’Tangan,
    pendengaran, penglihatan’ , kemudian
    ia tidak menyatakan : ’ bagaimana ’ dan
    ’seperti ’; maka itu tidak termasuk
    tasybih . Allah berfirman : ”Tidak ada
    sesuatupun yang serupa dengan Dia ,
    dan Dia -lah yang Maha Mendengar lagi
    Maha Melihat ” [Mukhtashar Al-’ Ulluw
    lidz -Dzahabi , hal . 69 ].

  2. Syeikh ibrohim al-bajuri berkata dalam kitab tijan (pen:mukhtashor akidah ahlu sunnah wal-jama’ah):

    ويجب فى حقه تعالى: المخالفة للحوادث

    wajib dalam haq alloh ta’ala sifat mukholafatu lil-hawaditsi (pen: berbeda dari makhluq)
    ِ
    –ومعناه انه تعالى ليس مماثلا للحوادث، فليس له يد ولا عين ولااذه ولاغير ذلك من صفاﺕ للحوادث

    maknanya adalah alloh ta’ala itu tidaklah menyerupai/diserupakan dengan hawadits (pen: makhluk) maka tidaklah dapat/boleh dikatakan alloh itu bertangan, bermata, bertelinga dan sebagainya dari sifat-sifat makhluq

    –وضدها المماثلة، والدليل على ذلك: انه لوكان مماثلا للحوادث لكان حادثا وهو محال‎.‎

    Dan lawan sifat al-mukholafatu lilhawaditsi adalah menyerupai.
    dalil mengenai itu adalah: sesungguhnya jika allah menyerupai makhluq maka allah itu baru dan hal tersebut mustahil.

    Wallahu a’lam

    • kita katakan kepada Aswajaassundaw dan Imam Nawawi..

      Baqo /kekal ( Allah kekal sedangkan langit, ‘ Arsy, surga, neraka, malaikat, manusia, iblis akan di gulung/hancurkan saat Kiamat)
      Ini aqidah apa mnyatakan Arsy, surga, dan neraka akan dihancurkan di hari kiamat?
      kl surga dan neraka dihancurkan trus dengan apa Allah akan membalas orang2 shalih dan durhaka kepadaNya?

      Jika Allah mengatakan memiliki tangan, pendengaran, dan penglihatan kenapa kita tidak mengimaninya? Bukankan Allah Maha Kuasa, Maha Memiliki? sekiranya Allah mensifati diriNya demikian kenapa kita tidak bisa menerimanya? Siapa yang melarang kalau Allah memang memiliki sifat tangan, pendengaran, dan penglihatan
      Kenapa ente gk protes aj sama Kitabullah, ente tanya “Ya Allah kenapa Engkau memiliki sifat tangan, pendengaran, dan penglihatan? Bagaimana itu Ya Allah?”
      Ujung2nya emang hati ente yang mudah terkena syubhat, kita mengimani Allah memiliki sifat demikian dan kita tidak mempertanyakannya dan memikirkannya, tapi hati ente trus mencari syubhat “lhoo,, kata Wahabi Allah punya sifat demikian, masa Allah dibilang begini,begitu dll dsb,, bagaimana bs kl disifati Allah dmikian, kl Allah dsifati demikian brarti Allah sperti makhluqnya dooong,, Ah sesat emang nih wahabi”

      Nah kaaaan akhirnya muncul deh pertanyaan2 kaya gitu dari hati2 kalian, itu yang terjadi pada orang2 yang tidak bisa bersikap diam dan menerima ketika kebenaran ditrunkan.

  3. Berpegang kepada dhahir ayat sebagai bagian dari metode yang dilakukan mayoritas salafush shalih adalah tidak salah jika dilakukan pada tempatnya.
    Akan tetapi jika lantas menuduh kami “Mu’atthil” atau orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah SWT, itu sungguh sebuah tuduhan yang jahat menurut saya pribadi.

    Silahkan simak

    Pertanyaan: benarkah memahami nash mutasyabbihat dengan berpegang kepada makna dhahir itu jalan yang ditempuh ulama salaf?
    Benarkah yang seperti itu adalah tafwidh yang dilakukan oleh mereka rahimahumullah? Mari kita kakukan pembahasan.

    Metode Tafwidh Salafush shalih Al Quran merupakan kitab yang sempurna yang diturunkan ke dalam bahasa Arab yang jelas, sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah berikut ini:

    ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻧَﻌْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻌَﻠِّﻤُﻪُ ﺑَﺸَﺮٌ ﻟِﺴَﺎﻥُ
    ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﻠْﺤِﺪُﻭﻥَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺃَﻋْﺠَﻤِﻲٌّ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻟِﺴَﺎﻥٌ ﻋَﺮَﺑِﻲٌّ ﻣُﺒِﻴﻦٌ

    “(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata: ‘Bahawasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).
    Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (bukan-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab yang jelas” (Surah An-Nahl 103) Poin pertama yang saya maksudkan di sini adalah “bahasa al Qur’an adalah bahasa ‘Arab”
    Poin kedua perihal mu’jizat al Quran:
    Ketika al Quran diturunkan, masyarakat ‘Arab sedang dibuai oleh indahnya sastra, sehingga banyak penyair-penyair pada masa tersebut. Syair-syair buatan orang-orang Quraisy saat itu
    memang indah, namun ternyata bahasanya masih kalah indah dengan bahasa al Qur’an, ditambah dengan penyampai al Quran tersebut adalah Rasulullah SAW dimana beliau SAW ini ummi (buta huruf), maka runtuhlah tuduhan mereka sebelumnya bahwa al Quran adalah karangan Rasulullah SAW.
    Poin apa yang menjadi maksud saya dalam hal ini?
    Konsep majazi atau kiasan. Para penyair tentu memahami bahasa-bahasa kiasan/majaz.
    Keindahan bahasa al Quran ini yang kemudian mendasari argumentasi sebagian ulama bahwa ada bahasa-bahasa majazi juga yang terdapat di dalam al Quran yang lebih indah daripada bahasa majazi yang biasa digunakan para penyair itu. Ini belum jika ayat-ayat al Quran ini dibaca dengan tartil dan ihsan, pasti terdengar lebih indah lagi.
    Argumentasi saya berangkat dari 2 poin ini, yaitu tata bahasa Arab al Quran dan adanya konsep majazi, pada akhirnya ilmu-ilmu seperti nahwu, sharaf, balaghah, tafsir dll kemudian dipelajari dan berkembang, sebagai upaya untuk memahami ayat-ayat al Quran ini. Yang perlu diingat, ilmu-ilmu alat ini adalah tunduk kepada al Quran.
    Terkait pembahasan Asma wash Shifat, ada keterkaitan dengan metode pembahasan ayat-ayat mutasyabbihat, termasuk di dalamnya adalah pembahasana sifat-sifat khabariyyah Allah SWT yang tercantum di dalam al Quran.
    Pembahasan nash-nash yang mutasyabbihat (samar-samar) ada 2 metode, yaitu tafwidh (takwil ijmali) dan takwil tafshili. Metode tafwidh merupakan jalan yang diambil oleh mayoritas salafush shalih.
    Sedangkan metode takwil tafshili oleh kebanyakan ulama khalaf. Kedua metode ini tujuannya sama, yaitu mensucikan Allah SWT.
    Di sini saya hanya akan membahas tentang metode tafwidh ini. Tafwidh berarti menyerahkan, apanya yang diserahkan? Mari kita lihat keterangan yang terekam di dalam kitab al Asma wash Shifat tulisan Imam al Bayhaqi berikut: Abu Ubaid: “Jika ditanya kepada kami, tentang tafsirannya (ayat-ayat mutasyabihat), maka kami tidak menafsirkannya…” (Al-Asma’ wa As-Sifat
    Imam Al-Baihaqi: 355) Imam Sufian bin Uyainah r.a. berkata: “Apa yang disifati oleh Allah SWT tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut (seperti yadd) ialah tafsirannya (maknanya, cukuplah dengan menyebut perkataan tersebut, maka itulah yang dimaksudkan oleh Allah SWT, tanpa perlu tahu makna sebenarnya dari sudut bahasa ataupun sebagainya). Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan Bahasa Arab (dengan mengisbatkan sifat tersebut dari sudut Bahasa Arab) ataupun menafsirkannya dengan bahasa Farsi (merujuk kepada menterjemahkan perkataan tersebut kepada bahasa asing, menurut maknanya dari sudut Bahasa Arab, seperti menterjemahkan perkataan Yadd Allah kepada tangan Allah)” (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
    Imam Abu Sulaiman Al-Khittabi r.a. berkata:
    “Mutasyabihat itu, cukuplah sekadar beriman mengenai sifat tersebut, dan cukuplah dengan mengetahui lafaz yang terzahir. Adapun maknanya yang sebenar (batinnya), diserahkan kepada Allah SWT semata-mata…” (Al-Asma’ wa As-Sifat: 454)
    Apa yang bisa kita petik dari uraian dalam kitab al Asma’ wash Shifat ini? Yang bisa kita petik adalah mayoritas ulama salaf menyerahkan (tafwidh) makna dari lafadz ayat mutasyabbihat yang dimaksud, mereka rahimahumullah cukup mengimani ayat tersebut.
    Adapun kemudian mengenai uraian dalam kitab al Asma’ wash Shifat yang lain, utamanya penjelasan Imam Malik adalah sebagai berikut: Al Hafizh al Bayhaqi dalam karyanya al Asma’ wash Shifat dengan saApa yang bisa kita petik dari uraian dalam kitab al Asma’ wash Shifat ini? Yang bisa kita petik adalah mayoritas ulama salaf menyerahkan (tafwidh) makna dari lafadz ayat mutasyabbihat yang dimaksud, mereka rahimahumullah cukup mengimani ayat tersebut.
    Adapun kemudian mengenai uraian dalam kitab al Asma’ wash Shifat yang lain, utamanya penjelasan Imam Malik adalah sebagai berikut: Al Hafizh al Bayhaqi dalam karyanya al Asma’ wash Shifat dengan sanad yang jayyid, sebagaimana penilaian al Hafizh Ibn Hajar al Asqalani dalam Fathul Baari, meriwayatkan dari Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahab, bahwa ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: “Suatu ketika kami berada di majelis Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar Rahman ‘alal ‘ Arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah? Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukkan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: ar Rahman ‘alal ‘Arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena bagaimana (kayfiyyat) tidak ada bagi-Nya. Engkau adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini.” Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis Imam Malik (al Asma’ wash Shifat, hal 408).
    Jadi jika ditinjau dengan keterangan bagian lain dalam kitab al Asma’ wash Shifat, seharusnya lafadz semisal “Istawa” dibiarkan, jangan diterjemahkan ke dalam arti bersemayam seperti yang terjadi di Indonesia maupun Malaysia, seandainya bila kita ingin mengikuti ulama salaf yang sebenarnya. Bahkan Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan di dalam Fushulun fii al ‘Aqidah bayna as Salaf wal Khalaf hal 40-41 :
    “Realitasnya, bagi siapapun yang membaca karangan para ulama’ salafus sholih berkenaan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka dia akan dapati bahwa, kebanyakan daripada mereka meninggalkan usaha untuk mendalami makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan sebarang ungkapan. (Ini manhaj tafwidh menurut salafus sholeh). “Perkara ini jelas bahkan, hampir kepada tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh ulama’) sebelum kelahiran Sheikhul Islam Ibn Taimiyah dan madrasahnya (pemikiran dan manhajnya yang tersendiri)…” Dalam keterangan dari Abdullah ibn Wahab di atas, kalau kita cermati akan kita temukan bahwa sebab- sebab orang tersebut diusir karena mempertanyakan bagaimana (kayf) istawa Allah, bukan bertanya makna istawa. Apa maksudnya? Maksudnya adalah Istawa Allah itu tanpa kayfiyyat, karena kayfiyyat adalah sifat benda. Istawa Allah sesuai dengan Keagungan dan Ke-Maha Besar-anNya. Coba mari kita lihat riwayat yang lain dari Imam Malik: Riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’ minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al- Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al- Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an. Sheikh Ibnul Jauzi berkata dengan jelas: “Adapun kayfiyyat itu bagiNya (Allah SWT.) merupakan suatu kemustahilan… .” (Al-Mudhish: 131)
    Demikian pula halnya terhadap lafadz-lafadz seperti ” yaddullah”, “wajhullah” dan sebagainya, jika kita ingin mengikuti ulama salaf, maka biarkan seperti lafadz Arabnya, jangan dimaknai, dan jangan ditanyakan kayfiyyatnya juga karena kayffiyyat bagi Allah itu kemustahilan.
    Lalu apa beda pensikapan terhadap sifat Allah seperti Sama’, Bashar, Kalam, ‘Ilm, Hayah, dan yang sepertinya dengan sifat2 Allah seperti sifat Yadd, sifat Wajh, dan yang sepertinya? Apakah Anda menolak sifat-sifat Allah tersebut? Tidak, kami tidak menolak semua sifat-sifat Allah tersebut, yang kami tolak adalah penerjemahan secara makna dhahir sifat-sifat yang tergolong khabariyyah. Yang perlu kita ingat sifat-sifat Allah itu qaadimuun azaly, jangan kita maknai dengan makna jarihah (anggota tubuh).
    Berikut ini gambaran lebih mudah dipahaminya, insyaAllah: Sifat Allah seperti Sama’, Bashar, Kalam, ‘Ilm, Hayah dll itu disebut “sifat ma’ani”. Sifat ma’ani ini contoh mudah dipahaminya begini, Allah itu mempunyai sifat Bashar (Maha Melihat), sifat Maha Melihat Allah tidak butuh kepada kayfiyyat, sedangkan bagi makhluq, semisal manusia membutuhkan kayfiyyat, dibatasi ruang dan waktu, memerlukan prasarana, indera, alat, dll. Pada manusia, sifat ma’a’ani tidak tergambar sebagai jisim/benda.
    Sedangkan sifat Allah seperti sifat Yaddun, Wajhun, Qadamun, dan lain-lain disebut sifat khabariyyah (sifat sam’iyyah), semisal Allah memiliki sifat Yadd, manusia juga memiliki yadd juga. Bagi Allah sifat Yadd tidak butuh kepada kayfiyyat, sedang yadd/tangan manusia memiliki kayfiyyat. Pada manusia, yadd yang terlihat adalah jisim/anggota tubuh, bukan sebuah sifat.
    Di dalam pemahaman bahasa, tidak dikenal manusia memiliki sifat tangan, yang ada hanyalah tangan itu sendiri berupa jisim. Inilah maksud dari “bi laa kayfa wa laa ma’na/tanpa kayf dan tanpa memaknai”, karena memang Allah SWT itu “Laysa kamitslihi syai-un (QS asy Syura: 11) ” sehingga kita perlu hati-hati, di dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabbihat.
    Dari sini kita pun dapat menilai apakah metode tafwidh yang mereka pahami sesuai dengan yang dipahami salafush shalih atau tidak.
    Semoga penjelasan saya ini dapat membantu menjelaskan dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.
    Wallahu a’lam bisshawab.
    Wassalamu ‘alaykum warahmatullahi wabaarakatuh.

Tinggalkan komentar